PENGALAMANKU DIBUKIT PESAGI
Awal kisah
Adalah ditahun 2004, merupakan pengalaman pertama dalam
hidupku mendaki gunung, sesuatu yang sebelumnya hanya menjadi sebuah keinginan
yang belum pernah terwujud. Diawali
pertmuanku dengan sebuah perguruan tenaga dalam BUDISUCI ASMAUL JURUS di daerah Transmigrasi Batumarta unit 5 Sumatra
Selatan yang diasuh oleh seorang guru bernama Mbah Sukamadi, dikalangan para
ikhwan /murid BUDISUCI ASMAULJURUS lebih akrab kami sebut dengan panggilan Mbah
Guru. Sekilas tentang Mbah Guru yang berasal dari Ngawi ini adalah sosok yang
sederhana,rendah hati,penuh perhatian. Pada setiap kesempatan untuk sarasehan
bersama Mbah Guru, beliau sangat jarang bercerita tentang dirinya apalagi bila
pembicaraan seputar keilmuan, justru beliau lebih suka menceritakan kehebatan
ilmu kyai anu, mbah anu atau pendekar-pendekar jaman dulu. Ketika aku mencoba
bertanya tentang pengalaman beliau berkenaan dengan ilmu Budisuci, beliau lebih
senang menceritakan perjalanan beliau yang penuh dengan cobaan kesusahan pindah
sana pindah sini sampai akhirnya menemukan ketenangan hidup setelah dengan
istiqomah mengamalkan amalan Budisuci, tidak ada cerita hebat,tidak ada cerita
heroic, tidak ada cerita yng disampaikan dengan berapi-api,semua cerita
mengalir dengan lembut dan sederhana.Sangat jauh dari angan-anganku sebelumnya
bahwa kalau aku masuk perguruan Budisuci aku akan memiliki ilmu kebal, tahan bacok tahan tembak,bisa
mengalahkan lawan yang berjumlah banyak dengan jurus ghaib,bisa mengambil
pusakan atau benda-benda ghaib bahkan kalau bisa harta ghaib dan lain
sebagainya.Walaupun pada awalnya kecewa karena ternyata ilmu Budisuci yang
diwejangkan mbah Guru tidak seperti yang kuinginkan, Namun
setelah lebih sering dapat bersilaturahmi dan mendapat wejangan beliau
barulah kusadari bahwa kesederhanaan
ucapan dan perbuatan beliau mencerminkan kekayaan beliau akan hikmah yang
beliau petik dari perjalanan hidupnya yang sarat dengan ujian dan cobaan
kesulitan hidup, kerendahan hati beliau menggambarkan keluhuran budi sebagai
cerminan kedalaman penghayatan beliau akan sikap dan perjalanan sufiismenya,
Sikap beliau yang penuh perhatian pada setiap perkembangan muridnya dalam
mempelajari ilmu Budisuci merupakan cerminan rasa tanggung jawab seorang guru
terhadap muridnya yang tanpa pamrih.Kesimpulan itu membuat aku begitu takdim
pada beliau, sangat ingin belajar banyak pada beliau sangat ingin mendalami
ilmu budisuci yang menurut beliau mendalami ilmu Budisuci itu berarti “Nyemplung Kedhung jero kang tanpo
winates”. Yang berarti memasuki telaga ilmu yang tanpa batas.
Pada suatu malam kesempatan aku sowan Mbah Guru, aku ceritakan tentang
kehidupan keagamaanku kalau sejujurnya aku jarang shalat dan ingin sekali
merasakan yang namanya shalat yang khusu’ itu seperti apa dan bagaimana
caranya.Itulah awal cerita kemudian Mbah Guru memberikan petunjuk agar aku naik
gunung. Semula aku bingung karena dalam hidup ini belum pernah mendaki gunung,
dalam pikiranku apa kuat aku naik gunung semetara selama ini kepasar yang
jauhnya paling-paling 1 kilometer saja aku naik motor waduh-waduh... tetapi
yang namanya dhawuh guru mau tidak mau harus kulaksanakan, apalagi memang
dari aku sendirilah yang meminta petunjuk itu.Pilihan atas petunjuk beliau
gunung yang harus kudaki adalah Bukit Pesagi yang ada di daerah Liwa Lampung
barat.Berbekal keinginan yang kuat akhirnya kuputuskan untuk menjalankan
perintah Mbah Guru. Setelah musyawarah bersama teman-teman akhirnya Aku,Mas
Bejo,Mas Hardi,Adiku Murwiyanto,Sugiono,dan Mustakim sepakat untuk naik gunung.
Terimakasih tak terhingga kepada saudaraku Teguh alamsyah dan Bustan yang
tinggal di daerah Ranau karena berkenan menjadi penunjuk jalan kepintu
pendakian gunung Pesagi bahkan akhirnya ikut mendampingi kami sampai kepuncak
Pesagi.Tak lupa juga ungkapan terimakasih kepada abah Romli jurukunci gunung
Pesagi yang telah memberikan penjelasan tentang tatakrama ziarah digunung
Pesagi dan mang Udin Yang berperan sebagai pemandu dan membantu membawa
perbekalan kami.
Mulai pendakian
Tak banyak yang bisa kuceritakan perjalan kami dari Batumarta
sampai kepintu pendakian Gunung Pesagi. Yang jelas saat itu aku merasa yng
paling gagah dengan ransel dan sepatu baru…hem manteb, apalagi aku adalah ketua
rombongan..ehm..saat itu jarum jam telah menunjukan pukul13.23 wib.Kami mulai
menelusuri perkebunan kopi milik warga setempat,tepatnya didaerah bahuway, hawa
sejuk gunung sudah mulai terasa.Beberapa puluh meter kemudian jalan mulai
menanjak,mulai terasa bedanya bila dibandingkan denganberjalan ditanah
datar.Namun kami terus telusuri perkebunan kopi yang jalanya naik turun
,sesampainya di tempat yang namanya ledeng dengkul sudah mulai terasa lelah
keringat mulai terasa membasahi tubuhku, sejenak aku istirahat ditemani adiku
Sugi yang kulihat juga mulai kecapekan,maklum dia ngotot naik Gunung sambil
tetap puasa biar lebih berkah katanya….he he.
Berbekal keinginan kuat sambil mengunyah gula merah yang diberikan
temanku Bustan perjalanan kami lanjutkan, kurang lebih 1 jam kemudian kami
telah sampai diwilayah hutan lindung yang menjadi pintu pendakian.Ditempat ini
suasana hutan gunung sudah mulai terasa, kami mulai memeriksa kaki,satu dua
Pacet sudah menempel di kaki.Hem..namanya juga dihutan.
Pakis
Goyang
Entah sudah berapa jam kami berjalan mendaki, yang dapat ku ingat
Cuma capek yang luar biasa saat itu, sampailah
kami ditengah hutan yang agak landai, “Mang masih jauh nggak?” tanyaku
pada Mang Udin pemandu kami “ Ah enggak itu diatas dikit lagi kita sampai
selter 1” jawabnya. Rombongan mulai terpecah menjadi beberapa kelompok, ada
yang dua orang ada yang tiga orang. Sementara aku bersama Sugi dan Mang
udin.Aku terus berjalan pelan mengimbangi Sugi yang sudah mulai terlihat pucat,
Salutnya meskipun dia tampak kelelahan namun masih bertahan puasa dan menolak
air minum yang kuberikan.Tiba-tiba mataku tertuju pada serumpun pohon pakis
yang aneh menurutku, Karena hampir semua tumbuhan diam tenang karena memang
tidak ada angin tapi pakis yang satu rupun itu bergoyang terus bahkan rumpun
lain yang disekitarnya tetap diam.Jarak pakis itu dari tempatku berdiri kurang
lebih 3 meter, penasaran rasanya ingin kudekati dan kuambil pakis aneh yang
terus bergoyang itu.Tapi niat itu kubatalkan karena ingat pesan abah Romli si
juru kunci tadi pagi”Kalau mau selamat sampai dipuncak jangan terpengaruh
apa-apa. Melihat apapun jangan diambil” katanya. Akhirnya kuptuskan melanjutkan
perjalanan, toh pikirku nanti pulangnya saja bisa kuambil. Sugi sudah mulai
terlihat kelelahan “Jam piro mas?” tanyanya padaku.”Jam 5 seperempat’’jawabku”,
‘’Aku rakuat mas tak batalke yo?” katanya.”Ojo… tanggung mau-mau ragelem iki
wis tanggung delo meneh buko,wis kepalang, ora eneng wong mati poso” katku
sambil member semangat padanya. Melihat suasana Sugi sepertinya Murwiyanto
tanggap, “Wis sampean disik mas aku tak bareng Sugi” katanya kepadaku.Akhirnya
aku berjalan duluan agar segera sampai ke selter. Benar saja menjelang waktu
maghrib kami sapai diselter 1, karena jalan mulai gelap kami putuskan mala mini
kami istirahat di selter 1 kebetulan ada gubuk seng kira-kira muat untuk orang
4, namun kami tempati orang 8 hingga berjubel.Tapi tak apalah yng penting bisa
istirahat, bersyukur kami bawa terpal.
Doa dan
Tikus
Ini kisah yang menggelikan yang pada tahun-tahun kemudian selalu
jadi cerita menarik setiap kami berkumpul. Saat itu sehabis shalat Isya kami
melaksanakan istighotsah, Mas Bejo bertindak selaku Imam karena memang beliau
yang diantara kami yang dianggap lebih mengerti, awalnya berjalan sebagaimana
mestinya sampai seluruh rangkaian amalan selesai dibaca kemudian di sambung
doa.Aku masih sempat mengamati teman-teman yang mulai pada kelelahan dan
ngantuk.MasBejo terus melantunkan doa-doa amalan kami mengamini.Disinilah
kemudian kami tiba-tiba di kejutkan oleh teriakan Murwiyanto”Asstaghfirullah
hal adzim……..” Sontak kami semua menoleh kearah Murwiyanto.”Opo Mur” reflek Sugi bertanya karena kaget.Kami tolah
toleh saling beradu pandang dambil bertanya dalam hati apakah gerangan yang
terjadi, Namun karena bacaan doa Mas bejo belum selesai kami masih terus
mengamini, sementara Murwiyanto yang masih kaget…dan juga mungkin merasa
bersalah karena teriakanya..kulihat plonga plongo seperti sapi ompong. Yang
tadinya pada ngantukpun akhirnya melek karena kaget oleh teriakan Murwiyanto.
Setelah doa selesai Mas Bejo langsung bertanya pada Murwiyanto sambil setengah
mambentak “Opo to Mur..ngegetgeti wae!”, “Eneng tikus mlupat neng
tanganku”.Hahahahaha Gerrrrrr spontan kami tertawa mendengar jawaban Murwiyanto
yang polos sambil masih tetap plonga-plongo.”Hahaha mangkane Mur nek ndonga kui
sing khusu, sakingkhusu”e nganti turu yo kuwi entuke tikus haha” seloroh mas
Bejo. Mendapat seloroh mas Bejo Mur tampak tersipu.Kami tertawa terbahak-bahak.
Ada-ada aja gumamku dalam hati sambil menahan geli.Sebagian teman-teman masih
ngobrol ngalor ngidul sambil sesekali membahas yang baru saja dialami
Murwiyanto, karena mataku sudah semakin sulit diajak kompromi akhirnya aku
tidur. Esok harinya kami bangun pagi membut sarapan dan kurang lebih jam 11
perjalanan kami lanjutkan menuju puncak Pesagi.
Sampai di
Puncak Pesagi
Kurang lebih lima jam
perjalanan kami tempuh dari selter satu menuju puncak Pesagi melewati medan
yang lebih berat kadang harus menelusup dibawah pohon besar yang tumbang atau
meniti diatasnya, dalam perjalanan itu rombongan kami terpecah, namun masih
kuingat pesan juru kunci “Kalau kalian tersesat nanti di Pesagi aka nada yang
menuntun yaitu panglima Burung”. Kemarin aku sendiri tidak paham apa maksudnya
panglima burung, tapi ternyata benar adanya ketika rombongan terpisah Mas Teguh
bilang”Kalau kagek tesesat peloki bae ado burung kecik dimano dio bebunyi
peloki bae” ( Nanti kalau tersesat ikuti saja ada burung kecil dimana dia
berkicau ikuti saja ), dan benar saja bagi rombonganku tiga orang yng terpisah
dari Mang Udin si pemandu, kami mengikuti petunjuk burung.
Kurang lebih pukul 4 kami sampai kepuncak Pesagi.Saking harunya
temanku Bustan langsung sujud syukur.Ternyata sebagai orang asli Ranau dia juga
baru pertamakali naik ke puncak Pesagi.Alhamdulillah ternyata dipuncak Pesagi
ada dua gubuk seng, yang satu telah diisi oleh penziarah yang lebih dulu
tiba.Namun oleh mereka kami dipersilahkan untuk masuk kesatu gubuk. Teman-teman
lain mulai menata perbekalan dan merebus air untuk ngopi dan masak.Sementara
aku sendiri ingat pesan Mbah Guru untuk menanam rajah perguruan Budisuci
dibawah batu besar yang ada di tengah halaman datar di puncak Pesagi.Konon
ceritanya batu itu cor-coran jaman belanda.Hem berarti sebelum masa kemerdekaan
sudah ada orang belanda yang sampai ke puncak Pesagi, mau cari apa
ya?.Sementara Murwiyanto dan Sugi turun kelembah untuk mengambil air,konon kata
Mang Udin mendapatkanair dipuncak Pesagi ini harus turun ke lembah yangkurang
lebih 750 meter dalamnya.Masya allah aku jadi kepikiran Mur dan Sugi yng turun
kesana, dalam hati aku memohon kepada Allah swt untuk keselamatan
mereka.Kekhawatiranku lebih menjadi-jadi ketika tak lama kemudian turun hujan
aku tak bisa membayangkan Mur dan Sugi yang harus turun dan naik lagi dari
lembah dengan membawa air padahal kata Mang Udin hanya merambat berpegangan
akar-akar- pepohonan yang ada,Masya Allah kalau terjadi apa-apa gimana pasti
akulah orang yang pertama dituntut keluarganya karena aku ketua rombongan.Rupanya
Mas Bejo juga merasakan kegelisahan yang sama dengan yang kurasakan “Wis ndonga
wae dik” katanya menghiburku.Kekhawatiranku hilang setelah tak lama kemudian
keduanya muncul dengan menggendong air yang dibungkus plastic dan dimasukan
kedalam ransel, Alhamdulillah….lega rasanya melihat Mur dan Sugi selamt tak
kurang satu apapun.
Di Puncak
Pesagi aku bertemu Tuhan
Ketika anda membaca sub judul diatas janganlah anda membayangkan
saya bertemu Tuhan seolah-olah saya bertemu dengan Tuhan yang berwujud jasadi,
tentu adalah bertemu Tuhan dalam persepetif filosofi dalam dimensi
kebatiniahan.
Malam itu adalah malam kedua kami berada digunung Pesagi. Cuaca
dipuncak Pesagi sangat ekstrem uuaaaadeemmm tenaaann kata mas Hardi dengan
logat ngawinya.Namun kami lawan rasa dingin itu dengan tetap kekeh sesuai
agenda untuk melaksanakan istighotsah AMALLILLAH.Tak terasa seluruh rangkaian
amalan yang panjang telah kami
laksanakan.Kemudian kami istirahat sambil menikmati secangkir Kopi. Nikmat
sekali rasanya nyruput kopi dipuncak gunung Pesagi yang dingin sambil ngobrol
ngalor ndidul sama teman-teman, dan tak ketinggalan rokokan.Sekedar mengurangi
penat saya rebahan meluruskan pinggang, semetara Mas Bejo dan Mas Hardi keluar
dari gubuk untuk wiridan.Ada rasa syukur bercampur tak percaya ternyata
akhirnya sampai juga saya ke puncak Pesagi.Ada rasa syukur dan bahagia yang tak
terlukiskan. Entah telah berapa batang rokok saya habiskan,Sejenak kulirik
arloji ditanganku telah menunjukan pukul 04.27 wib, hampir masuk waktu subuh pikirku,
sementara teman yang lain masih pulas dibuai mimpi.Aku bergegas keluar gubuk,
benar saja sayup-sayup nun jauh disana dari kampung yang berada di kaki bukit
Pesagi terdengar suara adzan pertanda waktu subuh telah tiba. Aku menuju kehalaman
yang datar dimana kulihat Mas Bejo,Mas
Hardi dan Murwiyanto masih asyik dengan wiridanya masing-masing.Aku segera
mengambil tempat dengan berdiri untuk mengumandangkan adzan.Inilah awal kisah
yang kumaksud bertemu Tuhan. Saat itu
udara semakin terasa dingin menerobos pori-pori kulitku,serasa membelah
dagingku yang seakan beku menembus tulang dan menusuk-nusuk sampai terasa
keseluruh sumsumku, angin bertiup kencang, hembusanya sangat dahsyat menghapus
suara kumandang adzan yang tadi terdengar dari kampung bawah, bahkan suara
adzanku sendiri hampir-hampir tak terdengar tersapu oleh suara angin semakin
lama membuat semakin sayup suara adzanku, matakupun terpejam, tiba-tiba seluruh
bulu kuduku meremamg.Sejenak mataku terbuka pandangku lurus kedepan, terlihat
awan putih menggulung beterbangan kesana kemari tertiup angin saling
bersinggungan bertabrakan dan menyatu menjadi bentuk gulungan kabut yang lebih
besar lagi menutup pandanganku hingga tak tampak apapun olehku sesuatu yang berada
lebih dari sedepa dari tempatku berdiri.Sekilas kutundukan kepala untuk melihat
Mas Bejo Mas Hardi dan Murwiyanto yang tadi masih wiridan..Subhanallah… mereka
tinggal samar-samar terlihat olehku, seluruh badannya telah tersapu kabut
bahkan ketika kulirik sajadahku juga sudah tidak tampak. Tubuhku semakin
bergetar hebat kurasakan seluruh tubuhku lunglai, persendianku lemas sekujur
tubuhku basah oleh keringat meskipun udara sangat dingin. Suara adzanku terasa
parau, aku merasa seakan-akan terbang kelangit sendirian tiada teman tiada
siapa-siapa karena memang semuanya semakin tak terlihat oleh mata, Kupaksakan
kesadaranku atas penglihatanku namun semua semakin tak tampak, semetara suara
hembusan angin semakin membuat kesadaranku limpung, pandanganku mulai gelap,
gumpalan kabut yang semula putih berubah menjadi hitam pekat semakin lama
semakin kelam hingga tak tampak apa-apa lagi,semua terasa semakin hampa, hampir
saja kuputuskan tidak menyelesaikan adzan, namun kesadaranku masih membawaku
punya rasa malu pada Mas Bejo,Mas Hardi dan Murwiyanto yang kuingat tadi ada
didepanku.Mataku semakin perih kusadari aku telah menangis, lidahku semakin
kelu hingga adzanku terputus-putus.Tubuhku terguncang,Kesadaranku semakin
pudar, awan pekat diatas kepalaku membuat serasa aku terbang tinggi, Tinggi
sekali semakin lama semakin tinggi seolah-olah kepalaku tinggal sejengkal
menyentuh langit, meskipun hatiku bertekad menyelesaikan adzan aku tahu suara
sudah tidak lagi keluar dari mulutku, namun kupaksakan menyelesaikanya, hingga
setelah kalimat Allahu akbar…Allahua kbar…Laa illaha ilallah. Aku
terduduk,tangisku tak dapat kutahan lagi meski tak menjerit aku sesenggukan
sejadi-jadinya tubuhku kian lunglai dudukpun aku tak mampu hingga kubiarkan
tubuhku ambruk kedepan seperti posisi sujud jantungku tak lagi berdegup kencang
justru semakin lama semakin lambat, telingaku terasa tuli tak lagi kudengar
suara angin, mataku seperti buta tak ada satupun yang terlihat, penciumanku
hilang hingga tak mampu menghirup aroma minyak zafaron yang kuoleskan
disajadahku, aku tak tahu lagi apa yang terjadi, kehampaan menyeruak direlung
hatiku, seolah diriku telah berada dipintu maut, rasa takut yang hebat
menyelimuti hatiku, ingin rasanya aku berlari tapi aku tak mampu menggerakan
tubuhku, aku tak tahu harus berbuat apa, aku tak ingat lagi harus mengucap
apa,untuk sekian lama aku merasa kesunyian, sepi sekali,aku tak tahu apa yang harus
kulakukan, aku merasa di tempat yang asing entah dimana dan seperti apa,
Kesadaranku luluh lantak,akhirnya kubulatkan suara hatiku……….Ya Allah aku
pasrah…………semua kembali sunyi, hatikupun sepi, aku tak ingat siapa-siapa lagi,
aku tak ingat apa-apa lagi,….tiba-tiba didepanku muncul sosok berpakaian serba
putih, aku kaget bukan kepalang dengan kehadiranya,Tubuhku kembali terguncang, kocoba
mendongakan kepala…Subhanallah…Tajub ketika samar-samar kulihat wajahnya yang
tidak tampak jelas, Rasanya aku mengenal wajah itu, wajah itu mengingatkanku
waktu aku bercermin.. ya..aku kenal wajah itu.. itu adalah wajahku sendiri..
aku bingung harus berbuat apa, suara hatiku ingin bertanya… kamu siapa? Dari
mana? Mau apa? Kenapa? Dan segudang pertanyaan yang tak satupun mampu terucap,
lidahku kelu….Hingga samar-samar kudengar dia bicara…Bacalah Syahadat…kemudian
sosok itu hilang dari pandanganku entah kemana…semua semua kembali
sunyi…berkecamuk seribu pertanyaan dalam hati, Ku gosok-gosok kedua
mataku,Mimpikah aku? Lama aku terduduk sambil berusaha menyadari yng baru saja
terjadi,Tapi aku tetap bingung, hingga tiba-iba sesuatu menyentuh pundaku… ada
suara..Dik ayo shalat… sejenak aku terhenyak dari kebingunganku,kubuka kedua
mataku pelan-pelan, kusadari Mas Bejo berdiri disampingku mengajaku untuk
shalat subuh,Kulihat teman-teman telah berkumpul untuk melaksanakan shalat
subuh. Dengan sisa-sisa kekuatan tubuhku aku berdiri. Kami shalat subuh
berjamaah. Disaat shalat subuh,jujur pikiranku masih kacau,aku tidak bisa
kosentrasi, bahkan untuk bacaan shalat sering aku lupa, kejadian yang baru
kualami benar-benar menguasai alam pikiranku. Setelah selesai shalat subuh,
amalan, dan doa, teman-teman sebagian bubar,hanya beberapa orang yang melakukan
wiridan. Semetara aku masih duduk tertunduk dalam kebingunganku. Entah berapa
lama, otaku belum bisa menyadari apa yang baru saja kualami, hingga kemudian
Murwiyanto dan Sugi lari-lari sambil berkata.. Mas-mas neng sumur pitu eneng
banyune, aku mau raup.Mendengar apa yang mereka sampaikan aku jadi ingat bahwa
konon sangat jarang orang menemukan air disumur tujuh dipuncak Pesagi itu.Mas
Bejo segera mengajaku kesana.. Subhanallah… sesampainya kami disana kami berdua
mencium aroma wangi yang sangat harum sekali, bahkan aku dan Mas Bejo tak bisa
menggambarkan wangi aroma itu sangat beda dengan aroma minyak wangi yang sering
kami pakai.Kami mencari sumber aroma itu, ternyata dari air sumur tujuh,
sedangkan sumur tujuh itu sendiri tak lebih hanya berupa lobang-lobang keci
sebesar batok kelapa, teringat cerita tentang keanehan sumur tujuh itu lantas
Mas Bejo mengajaku mandi. Tentu hanya sekedar mengoleskan air itu ke badan
karena airnya Cuma sedikit dan kami hanya bisa menggunakan tangan untuk
mengambil airnya, konon menurut cerita Juru kunci sebelum kami naik kemarin air
sumur tujuh bisa menghadirkan berbagai khasiat dan manfaat..Wallahu alam..Sejak
peristiwa yng kualami itu aku lebih banyak diam,aku tak banyak cerita sama
teman-teman sampai kami pulang.Setelah dirasa hari mulai terang dan kami sudah
sarapan yang disediakan oleh mang Udin dan Mas Teguh kami berkemas-kemas untuk
turun dari puncak pesagi.
Pengalaman ini kuceritakan tanpa adanya maksud pamer ataupun
mengaku-ngaku. Namun semata-mata menyajikan pengalaman selama kami mengamalkan
amalan istighotsah AMALLILLAH. Kemudian tentang sosok yang saya lihat setelah
adzan baru dikemudian hari aku mendapatkan penjelasan dari Mbah Guru,
bahwasanya kita manusia yang banyak dosa ini tidak mungkin ketemu Tuhan secara
Dzat yang wujud(baca=tampak oleh mata).
Melainkan adalah sedulur saya sendiri yang berwujud ghaib, dan
yang demikian adalah bukti kekuasaan dan keagungan Allah swt Yang Maha
Menghendaki….Subhanallah…Maha Suci Allah…Tuhan Yang Maha Kuasa…memberikan
ilmu(baca=pemahaman) sesuai kemampuan umatnya masing-masing. Alhamdulillah.
Sarimie
sumpit gagang
Perjalanan kami turun dari Puncak Pesagi tak banyak yang kuingat
karena fikiranku masih kacau dengan apa yang baru kualami subuh tadi.Perbekalan
makanan sengaja hanya kami bawa seperlunya,selebihnya kami berikan kepada
penziarah yang masih berada dipuncak, bahkan ada satu orang penziarah yang
konon sudah dua tahun berada disana dan belum turun.Ketika kami sudah sampai
dikaki Bukit Pesagi sejenak kami istirahat perut sudah mulai terasa menyanyikan
lagu keroncong entah lagu apa yang jelas bukan keroncong bengawan solo karangan
gesang yang sangat melegenda itu.Perbekalan yang masih tersisa tinggal beberapa
bungkus Sarimi.Tapi kami bingung mau dimasak dimana sedangkan dihutan itu semua
kayu basah.Akhirnya Mur membuka satu bungkus sarimi dan menadahkan plastiknya
ke air yang mengalir di lereng bukit,Melihat cara Mur kamipun
ikut-ikutan..daripada gak ada yang dimakan…piker kami. Giliran mau makan
bingung lagi karena tangan pada kotor,Akhirnya saya mengambil gagang pakis dan
kami jadikan sumpit.Dikemudian hari saat kami berkumpul makan mie selalu
menjadi selorohan “Mana sumpit gagang pakisnya…hahaha”. Pengalaman naik ke
Puncak Bukit Pesagi adalh pengalamn yang memiliki makna yang teramat dalam bagi
kami dan akan selalu tersimpan dihati kami dan tak mungkin terlupakan sepanjang
hidup kami.
Tombo
Kangen
Tulisan ini aku sajikan sebagai pengobat rindu buat teman-teman
jamaah istighotsah AMALLILLAH di BATUMARTA kab.Ogan Komering Ulu yang
mendampingi dengan setia perjalananku kepuncak Pesagi, semoga saat ini kita
semua dalam lindungan dan rahmat ILLAHI.Meskipun saat ini kita jarang bertemu
namun saat-saat kebersamaan di Bukit/Gunung Pesagi tak mungkin terlupakan.
Subhanallah....pengalaman yang luar biasa..
BalasHapusterima kasih atas kunjunganya,semoga Allah memanjangkan umur dan memurahkan rezeki atas silaturahmi kita sebagaimana yang telah allah janjikan
BalasHapusAssalammualaikum Subhannallah... Ternyata antum sudah bersilaturahmi dengan mbah guru sukamadi. Yg kebetulan beliau adalah guru besar kami.
BalasHapus