Minggu, 03 Maret 2013

Pengalamanku di Puncak Pesagi

PENGALAMANKU DIBUKIT PESAGI
Awal kisah
Adalah ditahun 2004, merupakan pengalaman pertama dalam hidupku mendaki gunung, sesuatu yang sebelumnya hanya menjadi sebuah keinginan yang belum pernah terwujud.                                         Diawali pertmuanku dengan sebuah perguruan tenaga dalam BUDISUCI ASMAUL JURUS  di daerah Transmigrasi Batumarta unit 5 Sumatra Selatan yang diasuh oleh seorang guru bernama Mbah Sukamadi, dikalangan para ikhwan /murid BUDISUCI ASMAULJURUS lebih akrab kami sebut dengan panggilan Mbah Guru. Sekilas tentang Mbah Guru yang berasal dari Ngawi ini adalah sosok yang sederhana,rendah hati,penuh perhatian. Pada setiap kesempatan untuk sarasehan bersama Mbah Guru, beliau sangat jarang bercerita tentang dirinya apalagi bila pembicaraan seputar keilmuan, justru beliau lebih suka menceritakan kehebatan ilmu kyai anu, mbah anu atau pendekar-pendekar jaman dulu. Ketika aku mencoba bertanya tentang pengalaman beliau berkenaan dengan ilmu Budisuci, beliau lebih senang menceritakan perjalanan beliau yang penuh dengan cobaan kesusahan pindah sana pindah sini sampai akhirnya menemukan ketenangan hidup setelah dengan istiqomah mengamalkan amalan Budisuci, tidak ada cerita hebat,tidak ada cerita heroic, tidak ada cerita yng disampaikan dengan berapi-api,semua cerita mengalir dengan lembut dan sederhana.Sangat jauh dari angan-anganku sebelumnya bahwa kalau aku masuk perguruan Budisuci aku akan memiliki ilmu  kebal, tahan bacok tahan tembak,bisa mengalahkan lawan yang berjumlah banyak dengan jurus ghaib,bisa mengambil pusakan atau benda-benda ghaib bahkan kalau bisa harta ghaib dan lain sebagainya.Walaupun pada awalnya kecewa karena ternyata ilmu Budisuci yang diwejangkan mbah Guru tidak seperti yang                              kuinginkan, Namun setelah lebih sering dapat bersilaturahmi dan mendapat wejangan beliau barulah   kusadari bahwa kesederhanaan ucapan dan perbuatan beliau mencerminkan kekayaan beliau akan hikmah yang beliau petik dari perjalanan hidupnya yang sarat dengan ujian dan cobaan kesulitan hidup, kerendahan hati beliau menggambarkan keluhuran budi sebagai cerminan kedalaman penghayatan beliau akan sikap dan perjalanan sufiismenya, Sikap beliau yang penuh perhatian pada setiap perkembangan muridnya dalam mempelajari ilmu Budisuci merupakan cerminan rasa tanggung jawab seorang guru terhadap muridnya yang tanpa pamrih.Kesimpulan itu membuat aku begitu takdim pada beliau, sangat ingin belajar banyak pada beliau sangat ingin mendalami ilmu budisuci yang menurut beliau mendalami ilmu Budisuci itu berarti “Nyemplung Kedhung jero kang tanpo winates”. Yang berarti memasuki telaga ilmu yang tanpa batas.
Pada suatu malam kesempatan aku sowan Mbah Guru, aku ceritakan tentang kehidupan keagamaanku kalau sejujurnya aku jarang shalat dan ingin sekali merasakan yang namanya shalat yang khusu’ itu seperti apa dan bagaimana caranya.Itulah awal cerita kemudian Mbah Guru memberikan petunjuk agar aku naik gunung. Semula aku bingung karena dalam hidup ini belum pernah mendaki gunung, dalam pikiranku apa kuat aku naik gunung semetara selama ini kepasar yang jauhnya paling-paling 1 kilometer saja aku naik motor waduh-waduh... tetapi yang namanya dhawuh guru mau tidak mau harus                kulaksanakan, apalagi memang dari aku sendirilah yang meminta petunjuk itu.Pilihan atas petunjuk beliau gunung yang harus kudaki adalah Bukit Pesagi yang ada di daerah Liwa Lampung barat.Berbekal keinginan yang kuat akhirnya kuputuskan untuk menjalankan perintah Mbah Guru. Setelah musyawarah bersama teman-teman akhirnya Aku,Mas Bejo,Mas Hardi,Adiku Murwiyanto,Sugiono,dan Mustakim sepakat untuk naik gunung. Terimakasih tak terhingga kepada saudaraku Teguh alamsyah dan Bustan yang tinggal di daerah Ranau karena berkenan menjadi penunjuk jalan kepintu pendakian gunung Pesagi bahkan akhirnya ikut mendampingi kami sampai kepuncak Pesagi.Tak lupa juga ungkapan terimakasih kepada abah Romli jurukunci gunung Pesagi yang telah memberikan penjelasan tentang tatakrama ziarah digunung Pesagi dan mang Udin Yang berperan sebagai pemandu dan membantu membawa perbekalan kami.
Mulai pendakian
Tak banyak yang bisa kuceritakan perjalan kami dari Batumarta sampai kepintu pendakian Gunung Pesagi. Yang jelas saat itu aku merasa yng paling gagah dengan ransel dan sepatu baru…hem manteb, apalagi aku adalah ketua rombongan..ehm..saat itu jarum jam telah menunjukan pukul13.23 wib.Kami mulai menelusuri perkebunan kopi milik warga setempat,tepatnya didaerah bahuway, hawa sejuk gunung sudah mulai terasa.Beberapa puluh meter kemudian jalan mulai menanjak,mulai terasa bedanya bila dibandingkan denganberjalan ditanah datar.Namun kami terus telusuri perkebunan kopi yang jalanya naik turun ,sesampainya di tempat yang namanya ledeng dengkul sudah mulai terasa lelah keringat mulai terasa membasahi tubuhku, sejenak aku istirahat ditemani adiku Sugi yang kulihat juga mulai kecapekan,maklum dia ngotot naik Gunung sambil tetap puasa biar lebih berkah katanya….he he.
Berbekal keinginan kuat sambil mengunyah gula merah yang diberikan temanku Bustan perjalanan kami lanjutkan, kurang lebih 1 jam kemudian kami telah sampai diwilayah hutan lindung yang menjadi pintu pendakian.Ditempat ini suasana hutan gunung sudah mulai terasa, kami mulai memeriksa kaki,satu dua Pacet sudah menempel di kaki.Hem..namanya juga dihutan.
Pakis Goyang
Entah sudah berapa jam kami berjalan mendaki, yang dapat ku ingat Cuma capek yang luar biasa saat itu, sampailah  kami ditengah hutan yang agak landai, “Mang masih jauh nggak?” tanyaku pada Mang Udin pemandu kami “ Ah enggak itu diatas dikit lagi kita sampai selter 1” jawabnya. Rombongan mulai terpecah menjadi beberapa kelompok, ada yang dua orang ada yang tiga orang. Sementara aku bersama Sugi dan Mang udin.Aku terus berjalan pelan mengimbangi Sugi yang sudah mulai terlihat pucat, Salutnya meskipun dia tampak kelelahan namun masih bertahan puasa dan menolak air minum yang kuberikan.Tiba-tiba mataku tertuju pada serumpun pohon pakis yang aneh menurutku, Karena hampir semua tumbuhan diam tenang karena memang tidak ada angin tapi pakis yang satu rupun itu bergoyang terus bahkan rumpun lain yang disekitarnya tetap diam.Jarak pakis itu dari tempatku berdiri kurang lebih 3 meter, penasaran rasanya ingin kudekati dan kuambil pakis aneh yang terus bergoyang itu.Tapi niat itu kubatalkan karena ingat pesan abah Romli si juru kunci tadi pagi”Kalau mau selamat sampai dipuncak jangan terpengaruh apa-apa. Melihat apapun jangan diambil” katanya. Akhirnya kuptuskan melanjutkan perjalanan, toh pikirku nanti pulangnya saja bisa kuambil. Sugi sudah mulai terlihat kelelahan “Jam piro mas?” tanyanya padaku.”Jam 5 seperempat’’jawabku”, ‘’Aku rakuat mas tak batalke yo?” katanya.”Ojo… tanggung mau-mau ragelem iki wis tanggung delo meneh buko,wis kepalang, ora eneng wong mati poso” katku sambil member semangat padanya. Melihat suasana Sugi sepertinya Murwiyanto tanggap, “Wis sampean disik mas aku tak bareng Sugi” katanya kepadaku.Akhirnya aku berjalan duluan agar segera sampai ke selter. Benar saja menjelang waktu maghrib kami sapai diselter 1, karena jalan mulai gelap kami putuskan mala mini kami istirahat di selter 1 kebetulan ada gubuk seng kira-kira muat untuk orang 4, namun kami tempati orang 8 hingga berjubel.Tapi tak apalah yng penting bisa istirahat, bersyukur kami bawa terpal.
Doa dan Tikus
Ini kisah yang menggelikan yang pada tahun-tahun kemudian selalu jadi cerita menarik setiap kami berkumpul. Saat itu sehabis shalat Isya kami melaksanakan istighotsah, Mas Bejo bertindak selaku Imam karena memang beliau yang diantara kami yang dianggap lebih mengerti, awalnya berjalan sebagaimana mestinya sampai seluruh rangkaian amalan selesai dibaca kemudian di sambung doa.Aku masih sempat mengamati teman-teman yang mulai pada kelelahan dan ngantuk.MasBejo terus melantunkan doa-doa amalan kami mengamini.Disinilah kemudian kami tiba-tiba di kejutkan oleh teriakan Murwiyanto”Asstaghfirullah hal adzim……..” Sontak kami semua menoleh kearah Murwiyanto.”Opo Mur”  reflek Sugi bertanya karena kaget.Kami tolah toleh saling beradu pandang dambil bertanya dalam hati apakah gerangan yang terjadi, Namun karena bacaan doa Mas bejo belum selesai kami masih terus mengamini, sementara Murwiyanto yang masih kaget…dan juga mungkin merasa bersalah karena teriakanya..kulihat plonga plongo seperti sapi ompong. Yang tadinya pada ngantukpun akhirnya melek karena kaget oleh teriakan Murwiyanto. Setelah doa selesai Mas Bejo langsung bertanya pada Murwiyanto sambil setengah mambentak “Opo to Mur..ngegetgeti wae!”, “Eneng tikus mlupat neng tanganku”.Hahahahaha Gerrrrrr spontan kami tertawa mendengar jawaban Murwiyanto yang polos sambil masih tetap plonga-plongo.”Hahaha mangkane Mur nek ndonga kui sing khusu, sakingkhusu”e nganti turu yo kuwi entuke tikus haha” seloroh mas Bejo. Mendapat seloroh mas Bejo Mur tampak tersipu.Kami tertawa terbahak-bahak. Ada-ada aja gumamku dalam hati sambil menahan geli.Sebagian teman-teman masih ngobrol ngalor ngidul sambil sesekali membahas yang baru saja dialami Murwiyanto, karena mataku sudah semakin sulit diajak kompromi akhirnya aku tidur. Esok harinya kami bangun pagi membut sarapan dan kurang lebih jam 11 perjalanan kami lanjutkan menuju puncak Pesagi.
Sampai di Puncak Pesagi
 Kurang lebih lima jam perjalanan kami tempuh dari selter satu menuju puncak Pesagi melewati medan yang lebih berat kadang harus menelusup dibawah pohon besar yang tumbang atau meniti diatasnya, dalam perjalanan itu rombongan kami terpecah, namun masih kuingat pesan juru kunci “Kalau kalian tersesat nanti di Pesagi aka nada yang menuntun yaitu panglima Burung”. Kemarin aku sendiri tidak paham apa maksudnya panglima burung, tapi ternyata benar adanya ketika rombongan terpisah Mas Teguh bilang”Kalau kagek tesesat peloki bae ado burung kecik dimano dio bebunyi peloki bae” ( Nanti kalau tersesat ikuti saja ada burung kecil dimana dia berkicau ikuti saja ), dan benar saja bagi rombonganku tiga orang yng terpisah dari Mang Udin si pemandu, kami mengikuti petunjuk burung.
Kurang lebih pukul 4 kami sampai kepuncak Pesagi.Saking harunya temanku Bustan langsung sujud syukur.Ternyata sebagai orang asli Ranau dia juga baru pertamakali naik ke puncak Pesagi.Alhamdulillah ternyata dipuncak Pesagi ada dua gubuk seng, yang satu telah diisi oleh penziarah yang lebih dulu tiba.Namun oleh mereka kami dipersilahkan untuk masuk kesatu gubuk. Teman-teman lain mulai menata perbekalan dan merebus air untuk ngopi dan masak.Sementara aku sendiri ingat pesan Mbah Guru untuk menanam rajah perguruan Budisuci dibawah batu besar yang ada di tengah halaman datar di puncak Pesagi.Konon ceritanya batu itu cor-coran jaman belanda.Hem berarti sebelum masa kemerdekaan sudah ada orang belanda yang sampai ke puncak Pesagi, mau cari apa ya?.Sementara Murwiyanto dan Sugi turun kelembah untuk mengambil air,konon kata Mang Udin mendapatkanair dipuncak Pesagi ini harus turun ke lembah yangkurang lebih 750 meter dalamnya.Masya allah aku jadi kepikiran Mur dan Sugi yng turun kesana, dalam hati aku memohon kepada Allah swt untuk keselamatan mereka.Kekhawatiranku lebih menjadi-jadi ketika tak lama kemudian turun hujan aku tak bisa membayangkan Mur dan Sugi yang harus turun dan naik lagi dari lembah dengan membawa air padahal kata Mang Udin hanya merambat berpegangan akar-akar- pepohonan yang ada,Masya Allah kalau terjadi apa-apa gimana pasti akulah orang yang pertama dituntut keluarganya karena aku ketua rombongan.Rupanya Mas Bejo juga merasakan kegelisahan yang sama dengan yang kurasakan “Wis ndonga wae dik” katanya menghiburku.Kekhawatiranku hilang setelah tak lama kemudian keduanya muncul dengan menggendong air yang dibungkus plastic dan dimasukan kedalam ransel, Alhamdulillah….lega rasanya melihat Mur dan Sugi selamt tak kurang satu apapun.
Di Puncak Pesagi aku bertemu Tuhan
Ketika anda membaca sub judul diatas janganlah anda membayangkan saya bertemu Tuhan seolah-olah saya bertemu dengan Tuhan yang berwujud jasadi, tentu adalah bertemu Tuhan dalam persepetif filosofi dalam dimensi kebatiniahan.
Malam itu adalah malam kedua kami berada digunung Pesagi. Cuaca dipuncak Pesagi sangat ekstrem uuaaaadeemmm tenaaann kata mas Hardi dengan logat ngawinya.Namun kami lawan rasa dingin itu dengan tetap kekeh sesuai agenda untuk melaksanakan istighotsah AMALLILLAH.Tak terasa seluruh rangkaian amalan yang panjang  telah kami laksanakan.Kemudian kami istirahat sambil menikmati secangkir Kopi. Nikmat sekali rasanya nyruput kopi dipuncak gunung Pesagi yang dingin sambil ngobrol ngalor ndidul sama teman-teman, dan tak ketinggalan rokokan.Sekedar mengurangi penat saya rebahan meluruskan pinggang, semetara Mas Bejo dan Mas Hardi keluar dari gubuk untuk wiridan.Ada rasa syukur bercampur tak percaya ternyata akhirnya sampai juga saya ke puncak Pesagi.Ada rasa syukur dan bahagia yang tak terlukiskan. Entah telah berapa batang rokok saya habiskan,Sejenak kulirik arloji ditanganku telah menunjukan pukul 04.27 wib, hampir masuk waktu subuh pikirku, sementara teman yang lain masih pulas dibuai mimpi.Aku bergegas keluar gubuk, benar saja sayup-sayup nun jauh disana dari kampung yang berada di kaki bukit Pesagi terdengar suara adzan pertanda waktu subuh telah tiba. Aku menuju kehalaman yang datar dimana  kulihat Mas Bejo,Mas Hardi dan Murwiyanto masih asyik dengan wiridanya masing-masing.Aku segera mengambil tempat dengan berdiri untuk mengumandangkan adzan.Inilah awal kisah yang  kumaksud bertemu Tuhan. Saat itu udara semakin terasa dingin menerobos pori-pori kulitku,serasa membelah dagingku yang seakan beku menembus tulang dan menusuk-nusuk sampai terasa keseluruh sumsumku, angin bertiup kencang, hembusanya sangat dahsyat menghapus suara kumandang adzan yang tadi terdengar dari kampung bawah, bahkan suara adzanku sendiri hampir-hampir tak terdengar tersapu oleh suara angin semakin lama membuat semakin sayup suara adzanku, matakupun terpejam, tiba-tiba seluruh bulu kuduku meremamg.Sejenak mataku terbuka pandangku lurus kedepan, terlihat awan putih menggulung beterbangan kesana kemari tertiup angin saling bersinggungan bertabrakan dan menyatu menjadi bentuk gulungan kabut yang lebih besar lagi menutup pandanganku hingga tak tampak apapun olehku sesuatu yang berada lebih dari sedepa dari tempatku berdiri.Sekilas kutundukan kepala untuk melihat Mas Bejo Mas Hardi dan Murwiyanto yang tadi masih wiridan..Subhanallah… mereka tinggal samar-samar terlihat olehku, seluruh badannya telah tersapu kabut bahkan ketika kulirik sajadahku juga sudah tidak tampak. Tubuhku semakin bergetar hebat kurasakan seluruh tubuhku lunglai, persendianku lemas sekujur tubuhku basah oleh keringat meskipun udara sangat dingin. Suara adzanku terasa parau, aku merasa seakan-akan terbang kelangit sendirian tiada teman tiada siapa-siapa karena memang semuanya semakin tak terlihat oleh mata, Kupaksakan kesadaranku atas penglihatanku namun semua semakin tak tampak, semetara suara hembusan angin semakin membuat kesadaranku limpung, pandanganku mulai gelap, gumpalan kabut yang semula putih berubah menjadi hitam pekat semakin lama semakin kelam hingga tak tampak apa-apa lagi,semua terasa semakin hampa, hampir saja kuputuskan tidak menyelesaikan adzan, namun kesadaranku masih membawaku punya rasa malu pada Mas Bejo,Mas Hardi dan Murwiyanto yang kuingat tadi ada didepanku.Mataku semakin perih kusadari aku telah menangis, lidahku semakin kelu hingga adzanku terputus-putus.Tubuhku terguncang,Kesadaranku semakin pudar, awan pekat diatas kepalaku membuat serasa aku terbang tinggi, Tinggi sekali semakin lama semakin tinggi seolah-olah kepalaku tinggal sejengkal menyentuh langit, meskipun hatiku bertekad menyelesaikan adzan aku tahu suara sudah tidak lagi keluar dari mulutku, namun kupaksakan menyelesaikanya, hingga setelah kalimat Allahu akbar…Allahua kbar…Laa illaha ilallah. Aku terduduk,tangisku tak dapat kutahan lagi meski tak menjerit aku sesenggukan sejadi-jadinya tubuhku kian lunglai dudukpun aku tak mampu hingga kubiarkan tubuhku ambruk kedepan seperti posisi sujud jantungku tak lagi berdegup kencang justru semakin lama semakin lambat, telingaku terasa tuli tak lagi kudengar suara angin, mataku seperti buta tak ada satupun yang terlihat, penciumanku hilang hingga tak mampu menghirup aroma minyak zafaron yang kuoleskan disajadahku, aku tak tahu lagi apa yang terjadi, kehampaan menyeruak direlung hatiku, seolah diriku telah berada dipintu maut, rasa takut yang hebat menyelimuti hatiku, ingin rasanya aku berlari tapi aku tak mampu menggerakan tubuhku, aku tak tahu harus berbuat apa, aku tak ingat lagi harus mengucap apa,untuk sekian lama aku merasa kesunyian, sepi sekali,aku tak tahu apa yang harus kulakukan, aku merasa di tempat yang asing entah dimana dan seperti apa, Kesadaranku luluh lantak,akhirnya kubulatkan suara hatiku……….Ya Allah aku pasrah…………semua kembali sunyi, hatikupun sepi, aku tak ingat siapa-siapa lagi, aku tak ingat apa-apa lagi,….tiba-tiba didepanku muncul sosok berpakaian serba putih, aku kaget bukan kepalang dengan kehadiranya,Tubuhku kembali terguncang, kocoba mendongakan kepala…Subhanallah…Tajub ketika samar-samar kulihat wajahnya yang tidak tampak jelas, Rasanya aku mengenal wajah itu, wajah itu mengingatkanku waktu aku bercermin.. ya..aku kenal wajah itu.. itu adalah wajahku sendiri.. aku bingung harus berbuat apa, suara hatiku ingin bertanya… kamu siapa? Dari mana? Mau apa? Kenapa? Dan segudang pertanyaan yang tak satupun mampu terucap, lidahku kelu….Hingga samar-samar kudengar dia bicara…Bacalah Syahadat…kemudian sosok itu hilang dari pandanganku entah kemana…semua semua kembali sunyi…berkecamuk seribu pertanyaan dalam hati, Ku gosok-gosok kedua mataku,Mimpikah aku? Lama aku terduduk sambil berusaha menyadari yng baru saja terjadi,Tapi aku tetap bingung, hingga tiba-iba sesuatu menyentuh pundaku… ada suara..Dik ayo shalat… sejenak aku terhenyak dari kebingunganku,kubuka kedua mataku pelan-pelan, kusadari Mas Bejo berdiri disampingku mengajaku untuk shalat subuh,Kulihat teman-teman telah berkumpul untuk melaksanakan shalat subuh. Dengan sisa-sisa kekuatan tubuhku aku berdiri. Kami shalat subuh berjamaah. Disaat shalat subuh,jujur pikiranku masih kacau,aku tidak bisa kosentrasi, bahkan untuk bacaan shalat sering aku lupa, kejadian yang baru kualami benar-benar menguasai alam pikiranku. Setelah selesai shalat subuh, amalan, dan doa, teman-teman sebagian bubar,hanya beberapa orang yang melakukan wiridan. Semetara aku masih duduk tertunduk dalam kebingunganku. Entah berapa lama, otaku belum bisa menyadari apa yang baru saja kualami, hingga kemudian Murwiyanto dan Sugi lari-lari sambil berkata.. Mas-mas neng sumur pitu eneng banyune, aku mau raup.Mendengar apa yang mereka sampaikan aku jadi ingat bahwa konon sangat jarang orang menemukan air disumur tujuh dipuncak Pesagi itu.Mas Bejo segera mengajaku kesana.. Subhanallah… sesampainya kami disana kami berdua mencium aroma wangi yang sangat harum sekali, bahkan aku dan Mas Bejo tak bisa menggambarkan wangi aroma itu sangat beda dengan aroma minyak wangi yang sering kami pakai.Kami mencari sumber aroma itu, ternyata dari air sumur tujuh, sedangkan sumur tujuh itu sendiri tak lebih hanya berupa lobang-lobang keci sebesar batok kelapa, teringat cerita tentang keanehan sumur tujuh itu lantas Mas Bejo mengajaku mandi. Tentu hanya sekedar mengoleskan air itu ke badan karena airnya Cuma sedikit dan kami hanya bisa menggunakan tangan untuk mengambil airnya, konon menurut cerita Juru kunci sebelum kami naik kemarin air sumur tujuh bisa menghadirkan berbagai khasiat dan manfaat..Wallahu alam..Sejak peristiwa yng kualami itu aku lebih banyak diam,aku tak banyak cerita sama teman-teman sampai kami pulang.Setelah dirasa hari mulai terang dan kami sudah sarapan yang disediakan oleh mang Udin dan Mas Teguh kami berkemas-kemas untuk turun dari puncak pesagi.
Pengalaman ini kuceritakan tanpa adanya maksud pamer ataupun mengaku-ngaku. Namun semata-mata menyajikan pengalaman selama kami mengamalkan amalan istighotsah AMALLILLAH. Kemudian tentang sosok yang saya lihat setelah adzan baru dikemudian hari aku mendapatkan penjelasan dari Mbah Guru, bahwasanya kita manusia yang banyak dosa ini tidak mungkin ketemu Tuhan secara Dzat yang wujud(baca=tampak oleh mata).
Melainkan adalah sedulur saya sendiri yang berwujud ghaib, dan yang demikian adalah bukti kekuasaan dan keagungan Allah swt Yang Maha Menghendaki….Subhanallah…Maha Suci Allah…Tuhan Yang Maha Kuasa…memberikan ilmu(baca=pemahaman) sesuai kemampuan umatnya masing-masing. Alhamdulillah.
Sarimie sumpit gagang
Perjalanan kami turun dari Puncak Pesagi tak banyak yang kuingat karena fikiranku masih kacau dengan apa yang baru kualami subuh tadi.Perbekalan makanan sengaja hanya kami bawa seperlunya,selebihnya kami berikan kepada penziarah yang masih berada dipuncak, bahkan ada satu orang penziarah yang konon sudah dua tahun berada disana dan belum turun.Ketika kami sudah sampai dikaki Bukit Pesagi sejenak kami istirahat perut sudah mulai terasa menyanyikan lagu keroncong entah lagu apa yang jelas bukan keroncong bengawan solo karangan gesang yang sangat melegenda itu.Perbekalan yang masih tersisa tinggal beberapa bungkus Sarimi.Tapi kami bingung mau dimasak dimana sedangkan dihutan itu semua kayu basah.Akhirnya Mur membuka satu bungkus sarimi dan menadahkan plastiknya ke air yang mengalir di lereng bukit,Melihat cara Mur kamipun ikut-ikutan..daripada gak ada yang dimakan…piker kami. Giliran mau makan bingung lagi karena tangan pada kotor,Akhirnya saya mengambil gagang pakis dan kami jadikan sumpit.Dikemudian hari saat kami berkumpul makan mie selalu menjadi selorohan “Mana sumpit gagang pakisnya…hahaha”. Pengalaman naik ke Puncak Bukit Pesagi adalh pengalamn yang memiliki makna yang teramat dalam bagi kami dan akan selalu tersimpan dihati kami dan tak mungkin terlupakan sepanjang hidup kami.
Tombo Kangen
Tulisan ini aku sajikan sebagai pengobat rindu buat teman-teman jamaah istighotsah AMALLILLAH di BATUMARTA kab.Ogan Komering Ulu yang mendampingi dengan setia perjalananku kepuncak Pesagi, semoga saat ini kita semua dalam lindungan dan rahmat ILLAHI.Meskipun saat ini kita jarang bertemu namun saat-saat kebersamaan di Bukit/Gunung Pesagi tak mungkin terlupakan.

3 komentar:

  1. ananto pratikno-YA4 Maret 2013 pukul 21.34

    Subhanallah....pengalaman yang luar biasa..

    BalasHapus
  2. terima kasih atas kunjunganya,semoga Allah memanjangkan umur dan memurahkan rezeki atas silaturahmi kita sebagaimana yang telah allah janjikan

    BalasHapus
  3. Assalammualaikum Subhannallah... Ternyata antum sudah bersilaturahmi dengan mbah guru sukamadi. Yg kebetulan beliau adalah guru besar kami.

    BalasHapus