Bertawasullah
Bertawasullah
Tawasul atau washilah menurut bahasa
ialah “sesuatu yang dapat mendekatkan kepada yang lain“
Tawasul (washilah) dimaknai
secara singkat adalah “jalan”
Jalan yang dimaksud di sini tentulah
bukan yang dimaksud dengan jalan raya atau tempat kita menempatkan kaki untuk
berjalan. Hal ini sama dengan istilah langit, kursi yang kita temukan
dalam Al-Qur’an berkaitan dengan Allah Azza wa Jalla bukanlah yang dimaksud
dengan langit bumi atau kursi tempat duduk yang dapat kita indera dengan panca
indera kita seperti dengan mata (penglihatan)
Wasilah, langit, kursi adalah
sesuatu yang termasuk hal ghaib atau dimensi batin, karena tidak dapat diindera
dengan alat pembantu untuk melihat (mata), alat pembantu untuk mengecap
(lidah), alat pembantu untuk membau (hidung), alat pembantu untuk mendengar
(telinga), ataupun alat pembantu untuk merasakan (kulit/indera peraba).
Kita meyakini bahwa Baginda
Rasulullah pasti mengetahui tentang hal ghaib atau dimensi batin, termasuk
mengetahui tentang washilah, kursi, langit
Disisi lain, Syaikh Ibnu Baz
berfatwa bahwa “seseorang yang berkeyakinan Rasulullah mengetahui hal ghaib
maka ini adalah keyakinan kufur yang pelakunya dianggap sebagai orang kafir
karena melakukan kekufuran yang besar”
Periksa fatwa beliau, contohnya pada http://fatwaulama-online.blogspot.com/2008/03/hukum-orang-yang-meyakini-bahwa.html
Periksa fatwa beliau, contohnya pada http://fatwaulama-online.blogspot.com/2008/03/hukum-orang-yang-meyakini-bahwa.html
Fatwa seperti itu merupakan sebuah
kesalahpahaman. Kesalahpahaman adalah salah menurut apa yang kami pahami. Allah
ta’ala mennyampaikan bahwa Rasulullah mengetahui hal ghaib walaupun sedikit
sebagaimana firmanNya yang artinya
“Tuhan Maha Mengetahui yang gaib.
Maka Dia tidak akan membukakan kegaibannya itu kepada seorang pun, kecuali
kepada Rasul yang di kehendaki”. (QS. Al Jin [72]: 26-27).
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang
roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit“. (QS Al Isra [17]:85 )
Dalam tulisan kali ini, kita akan
mencoba menguraikan masalah tawasul atau washilah yang merupakan salah satu
bagian terpenting dalam agama Islam
Para ulama memahami washilah
ini berbeda-beda pendapat namun intinya mereka bersepakat bahwa washilah adalah
sesuatu yang dibenarkan dan dianjurkan dalam Islam, sebagaimana ditegaskan oleh
Allah subhanahu wa ta’ala dalam firmanNya yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (washilah) yang mendekatkan diri
kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”
(QS Al Maa’idah [5]: 35 )”
Pengertian Tawassul
Pemahaman tawassul sebagaimana yang
dipahami oleh umat islam selama ini adalah bahwa Tawassul adalah berdoa kepada
Allah melalui suatu perantara atau jalan atau cara, baik perantara tersebut
berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai
posisi lebih dekat kepada Allah.
Jadi tawassul merupakan perantara,
jalan doa untuk menuju/sampai kepada Allah SWT.
• Orang yang
bertawassul dalam berdoa kepada Allah menjadikan perantaraan berupa
sesuatu yang dicintainya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai
perantaraan tersebut.
• Orang yang
bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah bisa
memberi manfaat dan madlorot kepadanya dan. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu
yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan
madlorot, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi
manfaat dan madlorot sesungguhnya hanyalah Allah semata.
• Tawassul
merupakan salah satu cara atau jalan dalam berdoa. Banyak sekali cara untuk
berdo’a agar dikabulkan Allah, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir,
berdoa di tempat-tempat mustajab seperti Maqam Ibrahim, Multazam, Raudoh,
dll. Berdoa dengan mendahuluinya dengan bacaan alhamdulillah dan sholawat
dan meminta doa kepada orang sholeh.
Demikian juga tawassul adalah salah
satu usaha agar do’a yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah s.w.t.
Ada yang bertanya kenapa kita harus
bertawasul dalam berdoa sedangkan kita dijanjikan Allah Azza wa Jalla akan
mengabulkan segala permohonan hambaNya sebagaimana firmanNya yang artinya
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku,
maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka
beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS Al Baqarah [2]:1860 )
Kadang kita dalam memahami ayat
seperti ( QS Al Baqarah[2]:186 ) mengambil hanya sebagaian dari ayat itu yakni
“Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku“.
Sehingga sebagian muslim, ketika selesai berdoa, seolah-olah “menagih janji”
Allah swt berdasarkan apa yang dipahaminya itu.
Padahal ayat itu menjelaskan jalan/cara/syarat
agar Allah ar Rahmaan ar Rahiim mengabulkan doa hambaNya.
Doa agar sampai kepada Allah Azza wa
Jalla atau terkabul harus memperhatikan “adab berdoa”
Adab berdoa yang utama adalah
bagaimana kedekatan dengan Allah Azza wa Jalla di terangkan dalam ayat itu juga
yakni “hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka
beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.
Mereka yang lebih “didengar” doanya
adalah adalah orang-orang yang istiqomah di jalan yang lurus yakni jalan
orang-orang yang telah diberi ni’mat oleh Allah Azza wa Jalla
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (QS Al Fatihah [1]: 6 )
“(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS Al Fatihah [1]:7 )
“(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS Al Fatihah [1]:7 )
Kita semua berdoa setiap hari minta
petunjukNya akan ”jalan yang lurus” namun seolah-olah tidak berupaya agar
permintaan / doa itu terlaksana.
Kenyataannya sebagian muslim hanya
sebatas meminta / berdoa saja tanpa upaya atau tidak pernah tahu apa upaya yang
harus dilakukan terhadap permintaan / doa tersebut, atau malah tidak pernah
merasa meminta / berdoa walaupun melaksanakan sholat 5 waktu.
Ketidaktahuan itu terjadi karena
tidak mengikuti nasehat para ulama sebagai contoh nasehat ulama kita
terdahulu seperti Wali Songo dalam syair lagu “obat hati” dimana mereka
menasehatkan “Obat hati ada lima perkara, Yang pertama, baca Qur’an dan
maknanya“
PetunjukNya semua ada dalam
Al-Qur’an dan jadikanlah Al-Qur’an sebagai petunjuk kita dengan mengetahui
maknanya atau dengan memahaminya .
“Kitab (Al-Quran) ini tidak ada
keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,” (QS. Al Baqarah [2]
: 2 )
“Dengan kitab (Al-Qur’an) itulah
Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan,
dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap
gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki
mereka ke jalan yang lurus.” (QS Al Maa’idah. [5]:16 )
Siapakah orang-orang yang istiqomah
di jalan yang lurus atau orang-orang yang telah diberi ni’mat oleh Azza wa
Jalla ?
“Dan barangsiapa yang menta’ati
Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin,
orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman
yang sebaik-baiknya.” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Orang-orang sholeh (sholihin) dan
muslim dengan derajat/tingkatan orang sholeh itu ada yang masih hidup dan ada
pula yang sudah meninggal sedangkan para Syuhada adalah mereka yang mendapatkan
derajat tersebut setelah wafat.
Kita bisa minta tolong orang lain
yang menurut kita termasuk orang-orang sholeh atau orang-orang yang dekat di
sisi Allah Azza wa Jalla karena kita meyakini bahwa do’a mereka lebih
“didengar” oleh Allah Azza wa Jalla daripada do’a yang disampaikan oleh kita
sendiri dengan syarat kita harus yakin bahwa sesungguhnya yang mengabulkan
doa/permintaan adalah Allah ta’ala semata. Orang-orang sholeh hanyalah sebagai
washilah atau jalan. Inilah salah satu bertawasul.
Kalau kita mau berdoa langsung
kepada Allah Azza wa Jalla maka kitapun harus memenuhi adab berdoa itu atau
bertawasul
Bertawasul yang paling sederhana
adalah dengan sholawat.
Anas bin Malik r.a meriwayatkan
bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tiada doa kecuali terdapat hijab di
antaranya dengan di antara langit, hingga bershalawat atas Nabi SAW, maka
apabila dibacakan shalawat Nabi, terbukalah hijab dan diterimalah doa tersebut,
namun jika tidak demikian, kembalilah doa itu kepada pemohonnya“.
Bertawasul yang lain adalah sebelum
berdoa meng”hadiah”kan bacaan al fatihah untuk orang-orang sholeh umumnya untuk
yang telah wafat. Ini termasuk bertawasul dengan amal kebaikan/sholeh
kita.
Ada beberapa cara bertawasul antara
lain
Hadits dengan sanad bagus riwayat
ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, bahwa Rasulullah menyebutkan dalam
doanya (bertawasul dengan para nabi): “Dengan haq Nabimu dan para Nabi-Nabi
sebelumku“
Hadits riwayat al-Bukhari dalam
Shahih-nya dari Anas bahwa ketika para shahabat kepayahan karena ketiadaan air,
Umar bin Khaththab ber-istisqa’ lewat ‘Abbas bin Abdil Muththalib, beliau
berdoa: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya kami bertawassul kepada Engkau lewat
dengan Nabi kami dan Engkau memberu hujan kami. Dan kami bertawassul kepada
Engkau lewat dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan!”
Hadits riwayat al-Hakim dalam
al-Mustadrak, Umar bin Khaththab mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Ketika
Nabi Adam melakukan kesalahan, dia bermunajat: “Wahai Rabb-ku, aku memohon
kepada-Mu dengan lewat haq-Muhammad ketika Engkau mengampuni kesalahanku.” Lalu
Allah berfirman: “Wahai Adam, bagaimana engkau tahu tentang Muhammad sementara
Aku belum menciptakannya?” Adam menjawab: “Wahai Rabb-ku, karena ketika Engkau
menciptakanku dengan tangan-Mu (kekuasaan-Mu) dan meniupkan ruh di jasadku dari
ruh-Mu, aku mengangkat kepalaku dan aku melihat di tiang-tiang ‘Arsy tertulis La
ilaha illallah, Muhammad Rasulallah, dan aku tahu Engkau tidak akan
menyandarkan nama-Mu kecuali kepada makhluk yang paling Engkau kasihi.” Allah
kembali berfirman: “Benar wahai engkau Adam, karena sesungguhnya Muhammad
adalah makhluk yang paling Aku cintai; dan jika engkau memohon kepada-Ku lewat
dengan haq-nya Aku akan mengampunimu. Andai bukan karena Muhammad, Aku tidak
akan menciptakanmu. ”
Kesimpulannya
Tawasul adalah pembuka
(jalan/wasilah) doa atau Tawasul merupakan adab berdoa..
Tawassul adalah sebab (cara, sarana)
yang dilegitimasi oleh syara’ sebagai sarana dikabulkannya permohonan seorang
hamba.
Tawassul dengan para Nabi,
orang-orang sholeh atau para wali diperbolehkan baik di saat mereka masih
hidup atau mereka sudah meninggal. Karena mukmin yang bertawassul tetap
berkeyakinan bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya
secara hakiki kecuali Allah Azza wa Jalla.
Para Nabi dan orang-orang sholeh
atau para wali tidak lain hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba
karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka di sisi Allah Azza wa Jalla.
Allah Azza wa Jalla sendiri yang menyampaikan tentang kemulian dan ketinggian derajat mereka dalam (QS Ali Imran [3]: 169 ) yang artinya ”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.”
Allah Azza wa Jalla sendiri yang menyampaikan tentang kemulian dan ketinggian derajat mereka dalam (QS Ali Imran [3]: 169 ) yang artinya ”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.”
Bahkan Syaikh Ibnu Taimiyah
berkomentar dlm kitabnya Al-Kawakib Al Durriyah juz 2 hal. 6 yaitu:
“Tidak ada perbedaan antara orang hidup dan orang mati seperti yg dianggap sebagian orang. Jelas shohih hadits riwayat sebagian sahabat bahwa telah diperintahkan kpd orang2 yg punya hajat di masa Kholifah Utsman untuk bertawasul kpd nabi setelah beliau wafat (berdo’a dan bertawasul di sisi makam Rosulullah) kemudian mereka bertawasul kpd Rosulullah dan hajat mereka terkabul, demikian diriwayatkan al-Thabary”
“Tidak ada perbedaan antara orang hidup dan orang mati seperti yg dianggap sebagian orang. Jelas shohih hadits riwayat sebagian sahabat bahwa telah diperintahkan kpd orang2 yg punya hajat di masa Kholifah Utsman untuk bertawasul kpd nabi setelah beliau wafat (berdo’a dan bertawasul di sisi makam Rosulullah) kemudian mereka bertawasul kpd Rosulullah dan hajat mereka terkabul, demikian diriwayatkan al-Thabary”
Para Nabi tentu termasuk Rasulullah
pemimpin para Nabi, para Shiddiiqiin, para Syuhada dan orang-orang sholeh
mereka hidup disisi Allah Azza wa Jalla sebagaimana yang disampaikan Allah Azza
wa Jalla dalam firmanNya tentang para Syuhada
”Dan janganlah kamu mengatakan
terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada), (bahwa mereka itu )
mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”
(QS Al Baqarah [2]: 154 )
”Janganlah kamu mengira bahwa
orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; bahkan mereka itu
hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS Ali Imran [3]: 169)
Selengkapnya silahkan baca tulisan
pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/21/rasulullah-hidup/
Siapakah orang-orang sholeh atau
para wali ?
Mereka adalah muslim yang sholeh
atau muslim yang terbaik atau muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin) yakni muslim
yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati/keimananan atau muslim yang
selalu setiap saat yakin bahwa Allah Azza wa Jalla melihat setiap perbuatan.
Sebagaimana yang diriwayatkan
berikut
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”
Barangsiapa mengakui wasilah (perantara)
dan keutamaan kepada Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam maka ia berhak
mendapatkan syafa’at beliau pada hari kiamat.
Telah menceritakan kepada kami ‘Ali
bin ‘Ayyasy berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’aib bin Abu Hamzah dari
Muhammad Al Munkadir dari Jabir bin ‘Abdullah, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa berdo’a setelah mendengar adzan:
ALLAHUMMA RABBA HAADZIHID DA’WATIT TAMMAH WASHSHALAATIL QAA’IMAH. AATI
MUHAMMADANIL WASIILATA WALFADLIILAH WAB’ATSHU MAQAAMAM MAHMUUDANIL LADZII
WA’ADTAH (Ya Allah. Rabb Pemilik seruan yang sempurna ini, dan Pemilik shalat
yang akan didirikan ini, berikanlah wasilah (perantara) dan keutamaan kepada
Muhammad. Bangkitkanlah ia pada kedudukan yang terpuji sebagaimana Engkau telah
jannjikan) ‘. Maka ia berhak mendapatkan syafa’atku pada hari kiamat.” (HR
Bukhari)
Kitapun tanpa disadari telah
bertawasul dengan orang-orang sholeh atau bersholawat kepada orang-orang sholeh
setiap hari dengan mengucapkan
Assalaamu’alaina wa’alaa
‘ibaadillaahish shoolihiin,
“Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.
“Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.
Masihkah kita mengingkari bertawasul?
Umar bin alKhottob meminta kepada Abbas paman Nabi yang masih hidup untuk istisqo’ (berdoa agar Allah menurunkan hujan). Umar tidak mengajak kaum muslimin untuk beristighotsah kepada Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam yang sudah wafat.
BalasHapusعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
‘Dari Anas bin Malik bahwasanya Umar bin alKhottob –semoga Allah meridlainya- jika tertimpa kekeringan bersitisqo’ dengan Abbas bin Abdil Muththolib dan berkata: Ya Allah, sesungguhnya DULU kami bertawassul kepadaMu dengan Nabi kami kemudian engkau turunkan hujan, dan sesungguhnya kami (saat ini) bertawassul kepadaMu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami’(H.R alBukhari hadits no 954 juz 4 halaman 99).
tampakya abang ini perlu belajar bahasa arab biar gak salah dlm menterjemahkan.